Website || Pengadilan Agama Sungai Raya Kelas 1B
Artikel

Kedudukan Dissenting Opinion Sebagai Ekspresi Kebebasan Tertinggi Hakim I oleh Arsha Nurul Huda, S.H., M.H.

A. Latar Belakang Masalah

Dissenting opinion bukan lagi menjadi istilah asing bagi dunia hukum. Namun kini, mendadak istilah tersebut mengemuka seiring telah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi
tentang batasan usia calon presiden dan wakil presiden yang diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Pergulatan adanya batasan usia calon presiden dan wakil presiden baru-baru ini rupanya berdampak pada eksistensi lembaga Mahkamah Konstitusi yang banyak menjadi sorotan.
Berbagai opini muncul diiringi dengan berbagai pandangan dari banyak kalangan. Dimulai dari adanya indikasi bahwa Pemohon Judicial review telah mempermainkan marwah lembaga
peradilan dengan tidak serius dalam mengajukan permohonan, terdapat kesimpangsiuran mengenai kedudukan hukum (legal standing) pemohon, hingga klimaksnya keluarlah putusan
Mahkamah Konstitusi dari perkara tersebut yang terkandung didalamnya sebuah dissenting opinion. Meski bukan hal baru dalam teori atau praktik hukum, pemahaman mengenai
dissenting opinion masih bisa dibilang sangat penting dan perlu untuk diuraikan sebagai upaya untuk memberikan perspektif mengenai eksistensi penggunaan mekanisme dissenting opinion.
Tujuannya tidak lain adalah untuk memperkaya korpus hukum dengan menyikapi kondisi saat ini dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi terjaganya supremasi hukum di Indonesia.
Mekanisme dissenting opinion juga menjadi salah satu aspek hukum yang juga harus dikritisi guna mencegah terbentuknya opini yang keliru dalam masyarakat. Karena masyarakat
mulai membangun kesan bahwa perbedaan pendapat hakim yang termuat dalam dissenting opinion, merupakan suatu rekayasa hukum, alih-alih berusaha menjunjung supremasi hukum,
justru mengarah pada pandangan negatif terhadap penegakan hukum, sehingga hakim terkesan terpecah belah. Pandangan demikian yang hendak penulis luruskan dengan sedikit memberikan
perspektif penalaran mengenai mekanisme dissenting opinion.

 

B. Pembahasan

Hakikat dari adanya dissenting opinion adalah terjadinya perbedaan atau pemahaman menyangkut perbedaan pendapat antar hakim yang ada mengenai perkara yang sedang
ditanganinya. Lebih jauh lagi hal ini adalah pendapat seorang hakim atau lebih yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap keputusan mayoritas hakim dalam majelis hakim yang
mengambil keputusan dalam persidangan. Pendapat ini nantinya akan tetap dimasukkan dalam keputusan. Namun perbedaan pendapat tersebut tidak akan menjadi preseden yang mengikat
dan tetap akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah putusan. Mengapa muncul perbedaan pendapat oleh hakim, bagaimana perbedaan pendapat tersebut justru dikhawatirkan mengundang keraguan publik akan ketidakmungkinan menjamin kepastian hukum?

Sesuatu yang sudah dianggap sebuah kewajaran, bahwa setiap orang tentu tidak akan luput dari perbedaan pendapat. Bidang ilmu hukum menganggap perbedaan pendapat adalah
hal yang lumrah apalagi dalam sebuah negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, karena perbedaan dianggap sebagai suatu ciri budaya yang sudah menjadi hal yang lumrah
dalam masyarakat. Sebagai contoh perbedaan sering kali disebabkan oleh pandangan, kepentingan, keinginan atau penilaian tentang rasa keadilan, dimana tidak jarang individu
berjuang keras untuk mempertahankan apa yang diyakininya. Dahulu, Roscoe Pound pernah berujar tentang Law as a tool of social engineering. Bagaimana hukum berfungi untuk menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat sebagai contoh salah satu sebab perbedaan pendapat. Kepentingan itu harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proporsional sehingga dapat mendekati maksimum kepuasan masyarakat. Dalam kaitannya dengan menghadapi perbedaan adanya pendapat atau pandangan, hal ini mewajibkan hakim untuk menarik garis pada setiap sudut kepentingan sehingga dicapai titik keseimbangan yang proporsional. Sekalipun pada akhirnya hakim tidak dapat memberikan kepuasan mutlak dalam
mengatur keseimbangan antara berbagai kepentingan, satu-satunya yang bertahan adalah interpretasi hukum yang rasional.. Toh pembuat undang-undang juga tidak dapat secara
lengkap menangkap keberagaman kehidupan dan mengaturnya begitu sempurna dalam sebuah peraturan. Apa yang dibutuhkan oleh hukum dan kehidupan masyarakat adalah hakim yang
membantu pembuat undang-undang sebagai pemikir pembantu dan tidak sekedar memperhatikan perkataan dan perintah.

Para hakim harus mengerti keinginan-keinginan pembuat undang-undang dan mengungkapkan penilaian-penilaian hukum, juga untuk keadaan yang tidak seara khusus diatur dalam undang-undang, seperti bagaimana menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang dipertaruhkan dalam sebuah kasus. Penafsiran antar Hakim adakalanya serupa namun tidak dapat dipungkiri akan kemungkinan perbedaan penafsiran dan penalaran akan sebuah kasus. Dari situlah berkembang paradigma yang berbeda antar hakim yang dibangun dalam mengambil sudut suatu masalah karena hal ini berkaitan juga dengan proses psikologis yang dilakukan hakim untuk sampai pada putusan atas kasus yang dihadapinya. Dari berbagai perkara yang diajukan, terdapat ruang yang sangat terbuka untuk model pertarungan paradigmatik dikalangan hakim. Artinya perbedaan pendapat dan pandangan adalah hal yang memang tidak bisa ditolerir dalam proses lahirnya sebuah putusan. Hakim sebagai unit terpenting dalam menyelenggarakan peradilan, bertanggung jawab dalam terselenggaranya praktik peradilan. Putusan yang dijatuhkan atas ruang kebebasan hakim, akan terhindar dari opini-opini yang menyudutkan hakim sendiri.

Sebuah keniscayaan jika dalam menangani berbagai persoalan yang dihadapinya, hakim akan menemui suatu perdebatan dan perbedaan pandangan. Pangkal perbedaan pendapat Hakim adalah tingkat berbeda antara pemahaman hakim dalam menangkap pesan dan makna yang terkandung dalam peraturan hukum untuk dikonkretisasikan pada kasus-kasus yang bersifat dinamis.
Dalam dimensi lain, budaya hukum memberikan gambaran dalam sistem peradilan saat ini, hakim memiliki kebebasan dalam menjalankan aktivitas peradilannya, termasuk untuk berbeda pendapat dengan hakim lain yang mengambil keputusan. Ini penting mengingat kebebasan hakim yang didasarkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia dijamin dalam konstitusi.
Kebebasan hakim tidak mutlak, namun bersifat relative. Kebebasan dan kemerdekaan yang diberikan undang-undang tentang hal itu, hanya terbatas dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila. Untuk memenuhi terlaksananya fungsi dari peran itu, kepada hakim diberi otonomi kebebasan relative. Adapun alasan utama untuk memberikan jaminan terhadap asas kebebasan hakim, yakni Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin impartiality and fairness dalam memutus perkara.

Meski tidak mengikat, dissenting opinion sejatinya memuat wawasan hakim dari pengalamannya di bidang praktik dan teori. Oleh karena itu, perlunya menilai pendapat hakim sebagai bagian dari pendapat ahli yang sangat penting dalam proses pembuatan undang-undang di Indonesia. Pendapat ahli disini bukan ditujukan sebagai pendapat ahli dalam kaitannya dengan alat bukti, namun sebatas definisi yang memberikan tempat yang khusus bagi hakim yang juga merupakan ahli di bidangnya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman di bidang praktek dan teori.
Dissenting opinion dapat diartikan menjadi salah satu mekanisme yang digunakan untuk memberikan kesempatan kepada hakim untuk menerapkan ilmunya secara optimal. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penelitian secara menyeluruh dan memikirkan secara matang dalam menilai dan memutus suatu perkara. Namun, perbedaan pendapat (dissenting opinion) tetap merupakan pendapat minoritas terhadap suatu isu hukum yang dipertentangkan dan berkontribusi pada perdebatan publik mengenai masalah tersebut.

Akhirnya, kita dapat beranggapan bahwa perbedaan pendapat (dissenting opinion) lebih dari sekedarr ekspresi sebenarnya dari kebebasan pribadi tertinggi hakim, termasuk kebebasan
anggota atau hakim lainnya. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar independensi peradilan, yang hakikatnya adalah kebebasan hakim untuk mempertimbangkan dan memutus perkara. Memang
terkesan bertentangan dengan tujuan menjamin kepastian hukum, namun demikian sejatinya adanya kebebasan ekspresi hakim yang termanifestasikan dalam perbedaan pendapat (dissenting opinion) sebagai wujud bagi ruang hakim untuk mempertahankan kebenaran yang diyakininya.

C. Kesimpulan

Dissenting opinion sebenarnya dapat dijadikan sebagai rujukan alternatif bagi hakim, dalam melakukan reformasi hukum. Hal ini diperlukan agar dissenting opinion menjadi narasi hukum alternatif yang dapat memperkaya dan merangsang perkembangan hukum di masa depan. Dissenting opinion merupakan produk penafsiran hakim yang keberadaannya menjamin suatu putusan muncul dari perdebatan prospektif. Meski tidak mempunyai kekuatan hukum, dissenting opinion dapat dijadikan acuan alternatif oleh hakim ketika mempertimbangkan perkara yang relatif serupa. Dissenting opinion atau perbedaan pendapat hakim juga sebagai salah satu mekanisme yang digunakan untuk memberikan kebebasan kepada hakim untuk menerapkan seluruh pengetahuannya dan ruang otonomi yang lebih besar bagi hakim dengan mengabdikan seluruh independensinya untuk mempertahankan kebenaran yang diyakininya.

(sumber : www.badilag.mahkamahagung.go.id)

Views: 4

Facebook
YouTube
Instagram